Senin, 22 Agustus 2016

cerpen cinta dengan dosen



Kini, Saya Ikhlas…
Namaku Sifira Ezra Abdillah. Usia ku baru 19 tahun. Angka 19 adalah angka favoritku. Entah apa penyebabnya, mengapa aku menyukai angka itu, mungkin karena Aku terlahir di tanggal 19. Sebenarnya Aku mempunyai adik, tetapi ia telah meninggal di usia 9 tahun, karena demam berdarah. Jadilah Aku anak satu-satunya Abi dan Umi. Eits, jangan dikira Aku ini wanita yang seperti akhwat-akhwat itu ya. Aku memang memakai hijab, tapi masih buka-tutup . Nonton, nulis, tidur dan nongkrong adalah hobiku. Kalau masalah nongkrong, itu hobi favorit ku dengan teman dekatku, Roro. Aku kenal Roro sejak SMP, sehingga aku sangat kenal baik dengannya. Roro adalah sahabat yang selalu ada buatku, ya walaupun kadang-kadang nyebelin juga.
Hari Senin itu adalah hari pertama ku masuk perkuliahan semester dua di kampus. Aku berjalan dengan sedikit terburu-terburu, karena aku tidak ingin terlambat masuk kelas di hari pertama kuliah semester genap. Namun, Aku bingung karena tidak tahu dimana letak ruang kelasku. Maklumlah, Aku memang anak supel yang cuma kuliah lalu pulang. Tiba-tiba saat Aku hendak berbelok dari lorong kampus, Aku menabrak seorang lelaki yang usianya jauh lebih dewasa dari ku.
“ Maaf-maaf, saya nggak sengaja. Kamu nggak papa?” tanya lelaki itu padaku.
“Em.... iya. Aku nggak papa kok Mas”, jawabku singkat.
“ Ezra, ngapain lo disitu, ayo sini masuk kelas”, teriak Roro di depan kelas yang      berjarak 400 meter dari tempat aku berdiri.
“Iya ndut, gue mau kesitu kok, jawabku pada Roro yang biasa aku panggil Mendut.
“Aku duluan ya mas, permisi”, lanjutku pada lelaki itu dan pergi berlalu darinya.
Jam menunjukkan pukul 13.30 WIB, itu artinya tinggal satu mata kuliah lagi. Mataku sudah sayup-sayup ingin ku pejamkan segera. Aku  ingin cepat pulang dan membaringkan tubuhku di kasur. Tapi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran sesosok lelaki yang tadi menabrakku. “Mau apa lelaki itu ke kelasku?”, tanyaku dalam hati. Lelaki itu membuka pertemuan dengan salam hangat dan dilanjutkan dengan memperkenalkan dirinya. Aku semakin terkejut, setelah ku tahu bahwa dia adalah dosen pengampu mata kuliah administrasi.
“Ya, ampun, jadi dia dosen? Tadi gue panggil dia Mas. Ezra, ezra, udah satu semester kuliah, masa sih lo nggak tahu mana dosen mana mahasiswa” gumamku dalam hati sambil menahan malu, saat lelaki itu menatapku.
Namanya Pak Rahmawan, dan biasa dipanggil Pak Awan. Usianya tigapuluh tahun, tapi masih menjomblo, alias belum menikah. Waah, Abi saja menikah dengan Umi diusia 25 tahun. Pak Awan bilang, kalau beliau sebenarnya pernah beberapa kali menjalin hubungan asmara dengan wanita, namun kemudian ditinggal menikah oleh wanita-wanita itu. Beliau juga memilki ujian khusus bagi calon wanita yang ingin menjadi istrinya. Tapi wanita itu kebanyakan tidak lulus dari ujian beliau. Alhasil, Pak Awan masih menjomblo sampai sekarang. Sabar ya Pak, kebanyakan syarat sih. Tapi, Aku salut dengan Pak Awan, karena ternyata beliau adalah orang yang religius, calon doktor dan orang hebat di tempat tinggalnya.
Semenjak Aku kenal dengan Pak Awan, Aku selalu semangat mengikuti mata kuliahnya. Cara beliau mengajar sangat memotivasi mahasiswa, aktif, dan selalu bikin tantangan-tantangan seru untuk mahasiswa.
Suatu sore, Aku sengaja pergi ke taman kota untuk merefreshkan pikiran sambil menyelesaikan tugas kuliah. Aku memilih gazebo di sudut taman, agar tidak terlalu risih melihat muda-mudi yang sedang memadu kasih. Saat Aku sedang asyik menggerakan jari tanganku di keyboard laptop, tiba-tiba Aku mendengar suara lelaki memanggil namaku dari arah belakang. Ternyata itu suara Pak Awan. Dia meminta izin untuk ikut duduk didepanku, dan aku mengizinkannya. Kebetulan sekali, Aku sedang mengerjakan tugas administrasi, jadi bisa langsung konsultasi ke empunya.
“Bapak, lagi apa disini? Tumben ada di taman kota, emang Bapak nggak risih sama mereka?” , tanyaku sambil melirikan mata pada muda-mudi yang sedang asyik berduaan.
“Memangnya saya nggak boleh disini, tho? Kan asyik bisa jalan-jalan di taman kota,  lihat fenomena-fenomena baru buat jadi bahan penelitian”, jawab beliau sambil tersenyum.
“Lah, kamu ngapin ada disini? Lihat mereka juga? Atau lagi nunggu pacarmu yang nggak dateng-dateng?”, tanya beliau dengan logat khas Jawa sambil memperlihatkan gigi-gigi nya yang putih.
“Nggak kok, Pak. Kurang kerjaan banget saya nungguin pacar, punya pacar juga nggak. Saya lagi ngerjain tugas administrasi, Pak. Kebetulan pas Bapak disini, jadi saya bisa konsultasi langsung ke empunya”, jawabku dengan senyum.
“Walah, kamu ini. Ya sudah, coba saya lihat sudah sampai mana hasilnya?, timpal Pak Awan.
Pak Awan memegang laptopku dan mulai membaca tugas ku. Tak sengaja, Aku menatapnya, menatap mata dan wajahnya. Dalam dan semakin dalam. Pak Awan adalah sosok lelaki luar biasa, sehingga beliau pun sangat selektif memilih pasangan hidup.
“Makalahmu sudah bagus kok. Nanti, kamu simpulkan isi makalahnya ya”, kata Pak Awan, yang sedikit mengagetkanku.
“Iya Pak, terimakasih”, jawabku singkat.
Pak Awan mengajakku untuk pulang, karena hari mulai petang dan langit terlihat mendung. Kami pun berpisah dan menuju rumah masing-masing. Sampai dirumah adzan maghrib berkumandang bersahutan dengan suara deras hujan yang baru saja turun. Selepas sholat maghrib dan isya, biasanya Aku sudah siap menonton televisi di ruang keluarga, tapi malam ini tidak. Aku tidak bergairah menonton televisi, selain itu hujan diluar sangat deras, jadi kalau Aku menyalakan televisi percuma saja, karena suara televisi akan kalah dengan suara dera hujan. Aku langsung masuk kamar sambil menikmati cemilan. Mataku mulai menatap monitor laptop yang berisi tugas administrasi ku. Otak dan jari tangan, benar-benar aku fokuskan untuk menyusun dan mengetik kesimpulan dari makalah ku tadi. Selesai. Tiba-tiba pikiranku melayang dan terlihat bayangan Pak Awan disana. Bayang wajahnya, suaranya, dan senyumnya masih terekam kuat dalam memoriku. Ah, mungkin ini hanya rasa kagumku saja padanya. Aku segera mematikan laptopku dan beranjak tidur.
            Semenjak pertemuanku dengan Pak Awan di taman kota, Aku menjadi dekat dengan Pak Awan. Aku pun mulai terjun dalam organisasi kampus karena motivasi dari beliau. Aku juga semakin istiqomah untuk megenakan hijab. Semangat belajar dan berorganisasi kini selalu menggebu, karena motivasi dan tantangan dari Pak Awan. Diam-diam Aku sering memperhatikan Pak Awan kalau sedang mengajar ataupun ketika berorganisasi. Perfect. Mungkin kata itu yang keluar dari bibirku melihat sosok Pak Awan. Pak Awan adalah sosok lelaki ideal yang pantas untuk menjadi pendamping semua wanita. Aku perhatikan pula, ada salah satu kakak tingkat perempuan yang  sering mengobrol dengan Pak Awan. Sepertinya dia sangat akrab dengan Pak Awan. Dan entah mengapa, Aku merasa cemburu dan risih ketika melihat mereka bercengkerama. Sepertinya rasa kagumku pada Pak Awan telah berubah menjadi virus merah jambu. Tapi Aku berusaha untuk menutupi rasa ini dari beliau, karena Aku tidak ingin beliau menjauh dariku seandainya beliau tahu bahwa Aku suka padanya. Semakin Aku sering bertemu dengan Pak Awan, rasa cinta itu semakin tertanam kuat dalam hatiku. Aku tidak kuasa untuk menahan rasa ini. Maka, Aku bercerita pada Roro bahwa Aku menyukai Pak Awan.
“Apa? Lo suka sama Pak Awan? Lo lagi nggak bercanda kan, Zra?”, tanya Roro terkejut sambil menepuk-nepuk pipiku.
“Gue serius Ndut. Gue suka sama Pak Awan. Tapi, gue nggak berani ngungkapin rasa ini. Sebab, gue nggak mau Pak Awan menjauh dari gue”, balasku dengan nada sedih.
“Tapi selisih usia lo sama Pak Awan jauh banget, 11 tahun Zra, 11 tahun. Beliau itu pantesnya jadi Om lo, bukan pacar lo”
“Usia nggak akan jadi masalah buat gue. Ndut, gue nggak bisa nghapus perasaan ini”
“Yuph, gue ngerti kok Zra. Nggak segampang itu melupakan orang yang udah tersimpan di hati kita. Gue tahu, kalau lo itu orang yang nggak gampang jatuh cinta, jadi kalau lo emang beneran suka sama Pak Awan, lo ungkapin aja perasaan lo karena gue yakin pasti Pak Awan juga bakalan ngertiin lo”
Walaupun Roro menyarankan agar Aku jujur dengan Pak Awan, Aku tetap memendam perasaan ini.
****
Tak terasa sudah satu setengah tahun kedekatanku dengan Pak Awan. Namun, Aku masih memendam perasaanku ini. Hatiku bahagia bukan kepalang mengetahui bahwa kakak tingkat perempuan yang akrab dengan Pak Awan ternyata adalah keponakan beliau. Entah mengapa, perhatianku pada Pak Awan, seolah mulai berbalas. Beliau tidak sungkan untuk menceritakan pengalaman dan masa lalunya padaku. Bahkan Pak Awan sempat beberapa kali mengajakku untuk tadabbur alam bersama komunitas yang beliau pimpin. Beliau pernah mengajakku untuk silaturrahim kerumahnya dan memperkenalkan aku pada keluarganya. Selain itu, beliau juga pernah dua kali berkunjung ke rumah ku, bertemu dengan Abi dan Umi. Rasanya Aku benar-benar ingin mengungkapkan perasaan ini dan mendengar jawaban kalau beliau pun memiliki perasaan yang sama dengan ku.
Besok Aku akan menghadapi ujian semester lima, jadi Aku belajar keras agar Indeks Prestasi ku bagus. “Semangat, Ezra!!!  No contek! Harus jujur! Ok??”. Sebuah sms singkat dari Pak Awan yang berisi pesan untukku. Bagiku sms itu bukan sekedar pesan semata, tetapi memberi kesan mendalam. Mungkin diantara semua mahasiswa, hanya Aku yang mendapat sms khusus dari Pak Awan. Ya Allah jagalah Pak Awan dimanapun beliau berada.
Selepas UAS, Aku akan diajak oleh Abi dan Umi ke tempat Eyang di Jambi. Mungkin kali ini, Aku akan menghabiskan waktu liburanku di sana. Aku juga sudah berpamitan dengan Roro. Ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk. Sebuah sms dari Pak Awan yang mengajakku bertemu di taman kota. Jari tanganku langsung membalas SMS itu, mengiyakan ajakan Pak Awan. Sampai di taman kota, Aku melihat Pak Awan sedang duduk di sebuah gazebo taman. Langsung Aku menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, Pak Awan”, sapaku.
“Wa’alaikumussalam, Ezra. Sini duduk”, jawab Pak Awan.
“Ada apa ya Pak, tumben Bapak ngajak saya bertemu”, tanyaku
“Maaf ya Zra, kalau saya sudah mengganggu waktumu. Sebenarnya saya mau ngomong sesuatu sama kamu”.
“Mau ngomong apa Pak?”, tanyaku heran sambil menaruh harap kalau Pak Awan akan menyatakan cintanya padaku.
“Saya cuma mau ngasih ini. Ini tanda terimakasih saya sama kamu, karena kamu sudah menjadi mahasiswa terbaik saya. Jujur, saya kagum sama kamu”, jawab Pak Awan.
“E,eeeee, Masa sih Pak? Memangnya saya kenapa Pak? Kok Bapak kagum sama Saya?, tanyaku sambil terbata-bata.
“Menurut saya kamu berbeda dengan mahasiswa lain. O ya, saya dengar dari Roro,katanya Kamu mau liburan ke Jambi? Benar begitu?
“Iya, Pak. Saya sama orangtua mau silaturrahim ke tempat Eyang”,jawabku.
“Kamu jaga kesehatan biar bisa terus semangat”.
“I...iya Pak. Insya Allah”.
****
Kata-kata Pak Awan sore tadi terus membayang dalam pikranku. Terasa mesra, tapi mengapa kalimat yang kunanti dari bibir Pak Awan sama sekali tidak kudengar. Ah, tapi Aku sudah cukup bahagia dengan pertemuan tadi dan sebuah buku diary cantik hadiah dari beliau. Terselip juga sebuah foto diriku dengan Pak Awan di halaman depan buku diary itu.
Selama di Jambi, Aku isi notebook ku dengan catatan harianku disana. Aku pun mencurahkan segala perasaan yang selama ini Aku pendam padanya. Aku berharap, ketika Aku pulang ke rumah, Pak Awan akan menanyakan buku diary itu dan membaca isinya. Sudah hampir satu bulan Aku di Jambi. Aku tak kuasa menahan rindu pada Roro dan Pak Awan. Dua minggu ini Aku juga tidak berkomunikasi dengan beliau. Pesan singkat sempat Aku layangkan padanya, tapi tidak pernah ada jawaban. Aku takut kalau Pak Awan kenapa-kenapa. Aku sudah membulatkan tekad, bahwa sepulangnya dari Jambi, Aku akan jujur dengan perasaanku pada Pak Awan. Aku tak peduli apakah beliau akan menerimaku atau tidak, yang terpenting Aku  bisa mengeluarkan gundah gulana yang selama ini merasuk dalam pikiranku.
Hari yang kunanti tiba, Aku telah pulang ke rumah tercinta. Senyum hangat Roro menyambut kedatanganku dan orangtua dirumah. Aku memeluknya erat-erat, dan tidak lupa memberinya oleh-oleh khas Jambi. Tapi, Aku merasa ada yang aneh padanya. Roro terlihat lebih pendiam, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Aku mengajaknya ke tempat yang biasa untuk nongkrong kita. Aku menanyakan hal apakah yang Roro sembunyikan dariku. Tidak biasanya dia seperti ini. Roro mengambil sebuah kertas undangan pernikahan dari dalam tasnya. Dengan ragu dan terbata-terbata, Roro berkata bahwa kertas undangan itu dari Pak Awan. Perasaan ku tak enak, sehingga dengan sigap Aku langsung membuka kertas undangan itu. Ya Allah, alangkah hancur hatiku, melihat nama Pak Awan tersemat bersanding dengan nama seorang perempuan yang tidak aku kenal.
“Pak Awan akan menikah lusa besok Zra. Maafin aku, karena aku baru ngabarin kamu soal ini, soalnya Aku nggak mau hati kamu hancur Zra. Maafin Aku”, kata Roro.
Air mataku menetes deras dan segera aku berlari meninggalkan Roro. Aku segera masuk ke kamar dan menangis sepuasnya. Hatiku benar-benar hancur. Mengapa Pak Awan tega denganku. Waktu itu beliau berkata kalu beliau kagum padaku, tapi mengapa sekarang beliau justru akan menikah dengan perempuan lain.
“Ezra, kamu kenapa Sayang. Ayo keluar. Ada Roro disini”, suara Umi dari luar kamar.
Aku tak membalas sepatah katapun. Aku larut dengan kesedihan ini, rasanya Aku ingin menjerit sekencang-kencangnya karena tak kuasa menahan pedih hati ini.
Sudah satu hari ini Aku mengurung diri di kamar. Selera makanku benar-benar telah hilang. Besok adalah acara pernikahan Pak Awan, itu artinya Pak Awan akan sah menjadi milik perempuan lain. Tiba-tiba suara Umi terdengar dari belakangku. Ternyata Umi membuka kamarku dengan kunci cadangan. Umi mendekatiku dan langsung memelukku. Sepertinya Umi sudah mengetahui yang sebenarnya dari Roro. Beliau berusaha menghiburku dan menenagkan hatiku agar Aku bisa rela dengan takdir Allah ini. Aku menangis dalam pelukan hangat Umi. Aku berusaha untuk menenangkan diriku dan meresapi nasihat Umi.
Aku memutuskan untuk datang ke acara pernikahan Pak Awan bersama Roro. Sengaja Aku dan Roro datang lebih awal, karena Aku ingin melihat Pak Awan mengikrarkan janji setia pada perempuan yang dicintainya. Walaupun Aku harus menahan rasa sakit yang nantinya akan menyerang hatiku.
“Saya terima nikahnya Nurma Syarifah binti Raharja dengan maskawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 15 kg dibayar tunai”, suara Pak Awan mengucapkan qobul nikah.
Aku tak sanggup menahan air mata ini. Sakit. Sakit sekali. Roro yang duduk disampingku memeluk bahuku, seolah ia sangat tahu dengan sakit yang Aku rasakan ini. Aku segera menghapus air mata ini. Aku harus menahannya. Aku tidak ingin terlihat sedih di hari pernikahan Pak Awan. Ku lihat beliau sangat bahagia bersanding dengan perempuan yang sekarang telah halal baginya.
“Selamat ya Pak, akhirnya Bapak mendapat jodoh yang shaleha, yang selama ini Bapak idamkan”, ucapku pada pada Pak Awan.
“Terimaksih ya Zra. Semoga kamu juga akan mendapat jodoh yang sholeh juga”, jawab pak Awan
Aku tersenyum pada Pak Awan dan istrinya, lalu berlalu pergi dari mereka. Kali ini Aku benar-benar tak kuasa menahan air mata, sehingga Aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Sampai dirumah Aku langsung masuk kamar dan menangis. Umi yang melihatku, membiarkanku dalam kamar. Sepertinya Beliau ingin agar Aku menenangkan diri terlebih dahulu.
Kini aku berusaha untuk merelakan Pak Awan, walau berat tapi harus kucoba. Tak terasa kini Aku sudah lulus dan menjadi seorang Sarjana. Bayang-bayang Pak Awan pun juga mulai sirna dari fikiranku. Apalagi setelah mendengar berita kalau Pak Awan sudah memilki anak, hatiku turut merasa gembira. Aku akan mulai menapaki hidup ini dengan dewasa dan semangat. Mungkin dari hal pahit yang pernah ku alami, Aku akan menuai hal manis suatu hari nanti.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar