Kini, Saya Ikhlas…
Namaku Sifira Ezra Abdillah. Usia ku baru 19
tahun. Angka 19 adalah angka favoritku. Entah apa penyebabnya, mengapa aku
menyukai angka itu, mungkin karena Aku terlahir di tanggal 19. Sebenarnya Aku
mempunyai adik, tetapi ia telah meninggal di usia 9 tahun, karena demam
berdarah. Jadilah Aku anak satu-satunya Abi dan Umi. Eits, jangan dikira Aku
ini wanita yang seperti akhwat-akhwat itu ya. Aku memang memakai hijab, tapi
masih buka-tutup . Nonton, nulis, tidur dan nongkrong adalah hobiku. Kalau
masalah nongkrong, itu hobi favorit ku dengan teman dekatku, Roro. Aku kenal
Roro sejak SMP, sehingga aku sangat kenal baik dengannya. Roro adalah sahabat
yang selalu ada buatku, ya walaupun kadang-kadang nyebelin juga.
Hari Senin itu adalah hari pertama ku masuk
perkuliahan semester dua di kampus. Aku berjalan dengan sedikit
terburu-terburu, karena aku tidak ingin terlambat masuk kelas di hari pertama
kuliah semester genap. Namun, Aku bingung karena tidak tahu dimana letak ruang kelasku.
Maklumlah, Aku memang anak supel yang cuma kuliah lalu pulang. Tiba-tiba saat Aku
hendak berbelok dari lorong kampus, Aku menabrak seorang lelaki yang usianya
jauh lebih dewasa dari ku.
“ Maaf-maaf, saya nggak sengaja. Kamu nggak
papa?” tanya lelaki itu padaku.
“Em.... iya. Aku nggak papa kok Mas”, jawabku
singkat.
“ Ezra, ngapain lo disitu, ayo sini masuk
kelas”, teriak Roro di depan kelas yang berjarak 400 meter dari tempat aku
berdiri.
“Iya ndut, gue mau kesitu kok, jawabku pada
Roro yang biasa aku panggil Mendut.
“Aku duluan ya mas, permisi”, lanjutku pada
lelaki itu dan pergi berlalu darinya.
Jam menunjukkan pukul 13.30 WIB, itu artinya
tinggal satu mata kuliah lagi. Mataku sudah sayup-sayup ingin ku pejamkan
segera. Aku ingin cepat pulang dan
membaringkan tubuhku di kasur. Tapi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran
sesosok lelaki yang tadi menabrakku. “Mau apa lelaki itu ke kelasku?”, tanyaku
dalam hati. Lelaki itu membuka pertemuan dengan salam hangat dan dilanjutkan
dengan memperkenalkan dirinya. Aku semakin terkejut, setelah ku tahu bahwa dia
adalah dosen pengampu mata kuliah administrasi.
“Ya, ampun, jadi dia dosen? Tadi gue panggil dia Mas. Ezra, ezra, udah satu
semester kuliah, masa sih lo nggak tahu mana dosen mana mahasiswa” gumamku
dalam hati sambil menahan malu, saat lelaki itu menatapku.
Namanya Pak Rahmawan, dan biasa dipanggil Pak
Awan. Usianya tigapuluh tahun, tapi masih menjomblo, alias belum menikah. Waah,
Abi saja menikah dengan Umi diusia 25 tahun. Pak Awan bilang, kalau beliau sebenarnya
pernah beberapa kali menjalin hubungan asmara dengan wanita, namun kemudian ditinggal
menikah oleh wanita-wanita itu. Beliau juga memilki ujian khusus bagi calon
wanita yang ingin menjadi istrinya. Tapi wanita itu kebanyakan tidak lulus dari
ujian beliau. Alhasil, Pak Awan masih menjomblo sampai sekarang. Sabar ya Pak,
kebanyakan syarat sih. Tapi, Aku salut dengan Pak Awan, karena ternyata beliau
adalah orang yang religius, calon doktor dan orang hebat di tempat tinggalnya.
Semenjak Aku kenal dengan Pak Awan, Aku selalu
semangat mengikuti mata kuliahnya. Cara beliau mengajar sangat memotivasi
mahasiswa, aktif, dan selalu bikin tantangan-tantangan seru untuk mahasiswa.
Suatu sore, Aku sengaja pergi ke taman kota
untuk merefreshkan pikiran sambil menyelesaikan tugas kuliah. Aku memilih gazebo
di sudut taman, agar tidak terlalu risih melihat muda-mudi yang sedang memadu
kasih. Saat Aku sedang asyik menggerakan jari tanganku di keyboard laptop, tiba-tiba
Aku mendengar suara lelaki memanggil namaku dari arah belakang. Ternyata itu
suara Pak Awan. Dia meminta izin untuk ikut duduk didepanku, dan aku
mengizinkannya. Kebetulan sekali, Aku sedang mengerjakan tugas administrasi,
jadi bisa langsung konsultasi ke empunya.
“Bapak, lagi apa disini? Tumben ada di taman
kota, emang Bapak nggak risih sama mereka?” , tanyaku sambil melirikan mata
pada muda-mudi yang sedang asyik berduaan.
“Memangnya saya nggak boleh disini, tho? Kan
asyik bisa jalan-jalan di taman kota,
lihat fenomena-fenomena baru buat jadi bahan penelitian”, jawab beliau
sambil tersenyum.
“Lah, kamu ngapin ada disini? Lihat mereka
juga? Atau lagi nunggu pacarmu yang nggak dateng-dateng?”, tanya beliau dengan
logat khas Jawa sambil memperlihatkan gigi-gigi nya yang putih.
“Nggak kok, Pak. Kurang kerjaan banget saya
nungguin pacar, punya pacar juga nggak. Saya lagi ngerjain tugas administrasi,
Pak. Kebetulan pas Bapak disini, jadi saya bisa konsultasi langsung ke
empunya”, jawabku dengan senyum.
“Walah, kamu ini. Ya sudah, coba saya lihat
sudah sampai mana hasilnya?, timpal Pak Awan.
Pak Awan memegang laptopku dan mulai membaca
tugas ku. Tak sengaja, Aku menatapnya, menatap mata dan wajahnya. Dalam dan
semakin dalam. Pak Awan adalah sosok lelaki luar biasa, sehingga beliau pun
sangat selektif memilih pasangan hidup.
“Makalahmu sudah bagus kok. Nanti, kamu
simpulkan isi makalahnya ya”, kata Pak Awan, yang sedikit mengagetkanku.
“Iya Pak, terimakasih”, jawabku singkat.
Pak Awan mengajakku untuk pulang, karena hari
mulai petang dan langit terlihat mendung. Kami pun berpisah dan menuju rumah
masing-masing. Sampai dirumah adzan maghrib berkumandang bersahutan dengan
suara deras hujan yang baru saja turun. Selepas sholat maghrib dan isya,
biasanya Aku sudah siap menonton televisi di ruang keluarga, tapi malam ini
tidak. Aku tidak bergairah menonton televisi, selain itu hujan diluar sangat
deras, jadi kalau Aku menyalakan televisi percuma saja, karena suara televisi
akan kalah dengan suara dera hujan. Aku langsung masuk kamar sambil menikmati
cemilan. Mataku mulai menatap monitor laptop yang berisi tugas administrasi ku.
Otak dan jari tangan, benar-benar aku fokuskan untuk menyusun dan mengetik
kesimpulan dari makalah ku tadi. Selesai. Tiba-tiba pikiranku melayang dan
terlihat bayangan Pak Awan disana. Bayang wajahnya, suaranya, dan senyumnya
masih terekam kuat dalam memoriku. Ah, mungkin ini hanya rasa kagumku saja
padanya. Aku segera mematikan laptopku dan beranjak tidur.
Semenjak
pertemuanku dengan Pak Awan di taman kota, Aku menjadi dekat dengan Pak Awan.
Aku pun mulai terjun dalam organisasi kampus karena motivasi dari beliau. Aku
juga semakin istiqomah untuk megenakan hijab. Semangat belajar dan
berorganisasi kini selalu menggebu, karena motivasi dan tantangan dari Pak
Awan. Diam-diam Aku sering memperhatikan Pak Awan kalau sedang mengajar ataupun
ketika berorganisasi. Perfect. Mungkin kata itu yang keluar dari bibirku
melihat sosok Pak Awan. Pak Awan adalah sosok lelaki ideal yang pantas untuk
menjadi pendamping semua wanita. Aku perhatikan pula, ada salah satu kakak
tingkat perempuan yang sering mengobrol
dengan Pak Awan. Sepertinya dia sangat akrab dengan Pak Awan. Dan entah
mengapa, Aku merasa cemburu dan risih ketika melihat mereka bercengkerama.
Sepertinya rasa kagumku pada Pak Awan telah berubah menjadi virus merah jambu.
Tapi Aku berusaha untuk menutupi rasa ini dari beliau, karena Aku tidak ingin
beliau menjauh dariku seandainya beliau tahu bahwa Aku suka padanya. Semakin Aku
sering bertemu dengan Pak Awan, rasa cinta itu semakin tertanam kuat dalam
hatiku. Aku tidak kuasa untuk menahan rasa ini. Maka, Aku bercerita pada Roro
bahwa Aku menyukai Pak Awan.
“Apa? Lo suka sama Pak Awan? Lo lagi nggak
bercanda kan, Zra?”, tanya Roro terkejut sambil menepuk-nepuk pipiku.
“Gue serius Ndut. Gue suka sama Pak Awan.
Tapi, gue nggak berani ngungkapin rasa ini. Sebab, gue nggak mau Pak Awan
menjauh dari gue”, balasku dengan nada sedih.
“Tapi selisih usia lo sama Pak Awan jauh
banget, 11 tahun Zra, 11 tahun. Beliau itu pantesnya jadi Om lo, bukan pacar
lo”
“Usia nggak akan jadi masalah buat gue. Ndut,
gue nggak bisa nghapus perasaan ini”
“Yuph, gue ngerti kok Zra. Nggak segampang itu
melupakan orang yang udah tersimpan di hati kita. Gue tahu, kalau lo itu orang
yang nggak gampang jatuh cinta, jadi kalau lo emang beneran suka sama Pak Awan,
lo ungkapin aja perasaan lo karena gue yakin pasti Pak Awan juga bakalan
ngertiin lo”
Walaupun Roro menyarankan agar Aku jujur
dengan Pak Awan, Aku tetap memendam perasaan ini.
****
Tak terasa sudah satu setengah tahun
kedekatanku dengan Pak Awan. Namun, Aku masih memendam perasaanku ini. Hatiku
bahagia bukan kepalang mengetahui bahwa kakak tingkat perempuan yang akrab
dengan Pak Awan ternyata adalah keponakan beliau. Entah mengapa, perhatianku
pada Pak Awan, seolah mulai berbalas. Beliau tidak sungkan untuk menceritakan
pengalaman dan masa lalunya padaku. Bahkan Pak Awan sempat beberapa kali
mengajakku untuk tadabbur alam bersama komunitas yang beliau pimpin. Beliau
pernah mengajakku untuk silaturrahim kerumahnya dan memperkenalkan aku pada
keluarganya. Selain itu, beliau juga pernah dua kali berkunjung ke rumah ku,
bertemu dengan Abi dan Umi. Rasanya Aku benar-benar ingin mengungkapkan
perasaan ini dan mendengar jawaban kalau beliau pun memiliki perasaan yang sama
dengan ku.
Besok Aku akan menghadapi ujian semester lima,
jadi Aku belajar keras agar Indeks Prestasi ku bagus. “Semangat, Ezra!!! No contek! Harus jujur! Ok??”. Sebuah sms
singkat dari Pak Awan yang berisi pesan untukku. Bagiku sms itu bukan sekedar
pesan semata, tetapi memberi kesan mendalam. Mungkin diantara semua mahasiswa,
hanya Aku yang mendapat sms khusus dari Pak Awan. Ya Allah jagalah Pak Awan
dimanapun beliau berada.
Selepas UAS, Aku akan diajak oleh Abi dan Umi
ke tempat Eyang di Jambi. Mungkin kali ini, Aku akan menghabiskan waktu
liburanku di sana. Aku juga sudah berpamitan dengan Roro. Ponselku berbunyi
tanda ada pesan masuk. Sebuah sms dari Pak Awan yang mengajakku bertemu di
taman kota. Jari tanganku langsung membalas SMS itu, mengiyakan ajakan Pak
Awan. Sampai di taman kota, Aku melihat Pak Awan sedang duduk di sebuah gazebo
taman. Langsung Aku menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, Pak Awan”, sapaku.
“Wa’alaikumussalam, Ezra. Sini duduk”, jawab
Pak Awan.
“Ada apa ya Pak, tumben Bapak ngajak saya bertemu”,
tanyaku
“Maaf ya Zra, kalau saya sudah mengganggu
waktumu. Sebenarnya saya mau ngomong sesuatu sama kamu”.
“Mau ngomong apa Pak?”, tanyaku heran sambil menaruh
harap kalau Pak Awan akan menyatakan cintanya padaku.
“Saya cuma mau ngasih ini. Ini tanda
terimakasih saya sama kamu, karena kamu sudah menjadi mahasiswa terbaik saya.
Jujur, saya kagum sama kamu”, jawab Pak Awan.
“E,eeeee, Masa sih Pak? Memangnya saya kenapa
Pak? Kok Bapak kagum sama Saya?, tanyaku sambil terbata-bata.
“Menurut saya kamu berbeda dengan mahasiswa
lain. O ya, saya dengar dari Roro,katanya Kamu mau liburan ke Jambi? Benar
begitu?
“Iya, Pak. Saya sama orangtua mau silaturrahim
ke tempat Eyang”,jawabku.
“Kamu jaga kesehatan biar bisa terus
semangat”.
“I...iya Pak. Insya Allah”.
****
Kata-kata Pak Awan sore tadi terus membayang
dalam pikranku. Terasa mesra, tapi mengapa kalimat yang kunanti dari bibir Pak
Awan sama sekali tidak kudengar. Ah, tapi Aku sudah cukup bahagia dengan
pertemuan tadi dan sebuah buku diary cantik hadiah dari beliau. Terselip juga
sebuah foto diriku dengan Pak Awan di halaman depan buku diary itu.
Selama di Jambi, Aku isi notebook ku dengan
catatan harianku disana. Aku pun mencurahkan segala perasaan yang selama ini
Aku pendam padanya. Aku berharap, ketika Aku pulang ke rumah, Pak Awan akan
menanyakan buku diary itu dan membaca isinya. Sudah hampir satu bulan Aku di
Jambi. Aku tak kuasa menahan rindu pada Roro dan Pak Awan. Dua minggu ini Aku
juga tidak berkomunikasi dengan beliau. Pesan singkat sempat Aku layangkan
padanya, tapi tidak pernah ada jawaban. Aku takut kalau Pak Awan kenapa-kenapa.
Aku sudah membulatkan tekad, bahwa sepulangnya dari Jambi, Aku akan jujur
dengan perasaanku pada Pak Awan. Aku tak peduli apakah beliau akan menerimaku
atau tidak, yang terpenting Aku bisa
mengeluarkan gundah gulana yang selama ini merasuk dalam pikiranku.
Hari yang kunanti tiba, Aku telah pulang ke
rumah tercinta. Senyum hangat Roro menyambut kedatanganku dan orangtua dirumah.
Aku memeluknya erat-erat, dan tidak lupa memberinya oleh-oleh khas Jambi. Tapi,
Aku merasa ada yang aneh padanya. Roro terlihat lebih pendiam, seperti sedang
menyembunyikan sesuatu dariku. Aku mengajaknya ke tempat yang biasa untuk
nongkrong kita. Aku menanyakan hal apakah yang Roro sembunyikan dariku. Tidak
biasanya dia seperti ini. Roro mengambil sebuah kertas undangan pernikahan dari
dalam tasnya. Dengan ragu dan terbata-terbata, Roro berkata bahwa kertas
undangan itu dari Pak Awan. Perasaan ku tak enak, sehingga dengan sigap Aku
langsung membuka kertas undangan itu. Ya Allah, alangkah hancur hatiku, melihat
nama Pak Awan tersemat bersanding dengan nama seorang perempuan yang tidak aku
kenal.
“Pak Awan akan menikah lusa besok Zra. Maafin
aku, karena aku baru ngabarin kamu soal ini, soalnya Aku nggak mau hati kamu
hancur Zra. Maafin Aku”, kata Roro.
Air mataku menetes deras dan segera aku
berlari meninggalkan Roro. Aku segera masuk ke kamar dan menangis sepuasnya.
Hatiku benar-benar hancur. Mengapa Pak Awan tega denganku. Waktu itu beliau
berkata kalu beliau kagum padaku, tapi mengapa sekarang beliau justru akan
menikah dengan perempuan lain.
“Ezra, kamu kenapa Sayang. Ayo keluar. Ada
Roro disini”, suara Umi dari luar kamar.
Aku tak membalas sepatah katapun. Aku larut
dengan kesedihan ini, rasanya Aku ingin menjerit sekencang-kencangnya karena
tak kuasa menahan pedih hati ini.
Sudah satu hari ini Aku mengurung diri di
kamar. Selera makanku benar-benar telah hilang. Besok adalah acara pernikahan
Pak Awan, itu artinya Pak Awan akan sah menjadi milik perempuan lain. Tiba-tiba
suara Umi terdengar dari belakangku. Ternyata Umi membuka kamarku dengan kunci
cadangan. Umi mendekatiku dan langsung memelukku. Sepertinya Umi sudah
mengetahui yang sebenarnya dari Roro. Beliau berusaha menghiburku dan
menenagkan hatiku agar Aku bisa rela dengan takdir Allah ini. Aku menangis
dalam pelukan hangat Umi. Aku berusaha untuk menenangkan diriku dan meresapi
nasihat Umi.
Aku memutuskan untuk datang ke acara
pernikahan Pak Awan bersama Roro. Sengaja Aku dan Roro datang lebih awal,
karena Aku ingin melihat Pak Awan mengikrarkan janji setia pada perempuan yang
dicintainya. Walaupun Aku harus menahan rasa sakit yang nantinya akan menyerang
hatiku.
“Saya terima nikahnya Nurma Syarifah binti
Raharja dengan maskawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 15 kg dibayar
tunai”, suara Pak Awan mengucapkan qobul nikah.
Aku tak sanggup menahan air mata ini. Sakit.
Sakit sekali. Roro yang duduk disampingku memeluk bahuku, seolah ia sangat tahu
dengan sakit yang Aku rasakan ini. Aku segera menghapus air mata ini. Aku harus
menahannya. Aku tidak ingin terlihat sedih di hari pernikahan Pak Awan. Ku
lihat beliau sangat bahagia bersanding dengan perempuan yang sekarang telah
halal baginya.
“Selamat ya Pak, akhirnya Bapak mendapat jodoh
yang shaleha, yang selama ini Bapak idamkan”, ucapku pada pada Pak Awan.
“Terimaksih ya Zra. Semoga kamu juga akan
mendapat jodoh yang sholeh juga”, jawab pak Awan
Aku tersenyum pada Pak Awan dan istrinya, lalu
berlalu pergi dari mereka. Kali ini Aku benar-benar tak kuasa menahan air mata,
sehingga Aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Sampai dirumah Aku
langsung masuk kamar dan menangis. Umi yang melihatku, membiarkanku dalam
kamar. Sepertinya Beliau ingin agar Aku menenangkan diri terlebih dahulu.
Kini aku berusaha untuk merelakan Pak Awan,
walau berat tapi harus kucoba. Tak terasa kini Aku sudah lulus dan menjadi
seorang Sarjana. Bayang-bayang Pak Awan pun juga mulai sirna dari fikiranku.
Apalagi setelah mendengar berita kalau Pak Awan sudah memilki anak, hatiku
turut merasa gembira. Aku akan mulai menapaki hidup ini dengan dewasa dan
semangat. Mungkin dari hal pahit yang pernah ku alami, Aku akan menuai hal
manis suatu hari nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar