Senin, 22 Agustus 2016

cerpen cinta dengan dosen



Kini, Saya Ikhlas…
Namaku Sifira Ezra Abdillah. Usia ku baru 19 tahun. Angka 19 adalah angka favoritku. Entah apa penyebabnya, mengapa aku menyukai angka itu, mungkin karena Aku terlahir di tanggal 19. Sebenarnya Aku mempunyai adik, tetapi ia telah meninggal di usia 9 tahun, karena demam berdarah. Jadilah Aku anak satu-satunya Abi dan Umi. Eits, jangan dikira Aku ini wanita yang seperti akhwat-akhwat itu ya. Aku memang memakai hijab, tapi masih buka-tutup . Nonton, nulis, tidur dan nongkrong adalah hobiku. Kalau masalah nongkrong, itu hobi favorit ku dengan teman dekatku, Roro. Aku kenal Roro sejak SMP, sehingga aku sangat kenal baik dengannya. Roro adalah sahabat yang selalu ada buatku, ya walaupun kadang-kadang nyebelin juga.
Hari Senin itu adalah hari pertama ku masuk perkuliahan semester dua di kampus. Aku berjalan dengan sedikit terburu-terburu, karena aku tidak ingin terlambat masuk kelas di hari pertama kuliah semester genap. Namun, Aku bingung karena tidak tahu dimana letak ruang kelasku. Maklumlah, Aku memang anak supel yang cuma kuliah lalu pulang. Tiba-tiba saat Aku hendak berbelok dari lorong kampus, Aku menabrak seorang lelaki yang usianya jauh lebih dewasa dari ku.
“ Maaf-maaf, saya nggak sengaja. Kamu nggak papa?” tanya lelaki itu padaku.
“Em.... iya. Aku nggak papa kok Mas”, jawabku singkat.
“ Ezra, ngapain lo disitu, ayo sini masuk kelas”, teriak Roro di depan kelas yang      berjarak 400 meter dari tempat aku berdiri.
“Iya ndut, gue mau kesitu kok, jawabku pada Roro yang biasa aku panggil Mendut.
“Aku duluan ya mas, permisi”, lanjutku pada lelaki itu dan pergi berlalu darinya.
Jam menunjukkan pukul 13.30 WIB, itu artinya tinggal satu mata kuliah lagi. Mataku sudah sayup-sayup ingin ku pejamkan segera. Aku  ingin cepat pulang dan membaringkan tubuhku di kasur. Tapi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran sesosok lelaki yang tadi menabrakku. “Mau apa lelaki itu ke kelasku?”, tanyaku dalam hati. Lelaki itu membuka pertemuan dengan salam hangat dan dilanjutkan dengan memperkenalkan dirinya. Aku semakin terkejut, setelah ku tahu bahwa dia adalah dosen pengampu mata kuliah administrasi.
“Ya, ampun, jadi dia dosen? Tadi gue panggil dia Mas. Ezra, ezra, udah satu semester kuliah, masa sih lo nggak tahu mana dosen mana mahasiswa” gumamku dalam hati sambil menahan malu, saat lelaki itu menatapku.
Namanya Pak Rahmawan, dan biasa dipanggil Pak Awan. Usianya tigapuluh tahun, tapi masih menjomblo, alias belum menikah. Waah, Abi saja menikah dengan Umi diusia 25 tahun. Pak Awan bilang, kalau beliau sebenarnya pernah beberapa kali menjalin hubungan asmara dengan wanita, namun kemudian ditinggal menikah oleh wanita-wanita itu. Beliau juga memilki ujian khusus bagi calon wanita yang ingin menjadi istrinya. Tapi wanita itu kebanyakan tidak lulus dari ujian beliau. Alhasil, Pak Awan masih menjomblo sampai sekarang. Sabar ya Pak, kebanyakan syarat sih. Tapi, Aku salut dengan Pak Awan, karena ternyata beliau adalah orang yang religius, calon doktor dan orang hebat di tempat tinggalnya.
Semenjak Aku kenal dengan Pak Awan, Aku selalu semangat mengikuti mata kuliahnya. Cara beliau mengajar sangat memotivasi mahasiswa, aktif, dan selalu bikin tantangan-tantangan seru untuk mahasiswa.
Suatu sore, Aku sengaja pergi ke taman kota untuk merefreshkan pikiran sambil menyelesaikan tugas kuliah. Aku memilih gazebo di sudut taman, agar tidak terlalu risih melihat muda-mudi yang sedang memadu kasih. Saat Aku sedang asyik menggerakan jari tanganku di keyboard laptop, tiba-tiba Aku mendengar suara lelaki memanggil namaku dari arah belakang. Ternyata itu suara Pak Awan. Dia meminta izin untuk ikut duduk didepanku, dan aku mengizinkannya. Kebetulan sekali, Aku sedang mengerjakan tugas administrasi, jadi bisa langsung konsultasi ke empunya.
“Bapak, lagi apa disini? Tumben ada di taman kota, emang Bapak nggak risih sama mereka?” , tanyaku sambil melirikan mata pada muda-mudi yang sedang asyik berduaan.
“Memangnya saya nggak boleh disini, tho? Kan asyik bisa jalan-jalan di taman kota,  lihat fenomena-fenomena baru buat jadi bahan penelitian”, jawab beliau sambil tersenyum.
“Lah, kamu ngapin ada disini? Lihat mereka juga? Atau lagi nunggu pacarmu yang nggak dateng-dateng?”, tanya beliau dengan logat khas Jawa sambil memperlihatkan gigi-gigi nya yang putih.
“Nggak kok, Pak. Kurang kerjaan banget saya nungguin pacar, punya pacar juga nggak. Saya lagi ngerjain tugas administrasi, Pak. Kebetulan pas Bapak disini, jadi saya bisa konsultasi langsung ke empunya”, jawabku dengan senyum.
“Walah, kamu ini. Ya sudah, coba saya lihat sudah sampai mana hasilnya?, timpal Pak Awan.
Pak Awan memegang laptopku dan mulai membaca tugas ku. Tak sengaja, Aku menatapnya, menatap mata dan wajahnya. Dalam dan semakin dalam. Pak Awan adalah sosok lelaki luar biasa, sehingga beliau pun sangat selektif memilih pasangan hidup.
“Makalahmu sudah bagus kok. Nanti, kamu simpulkan isi makalahnya ya”, kata Pak Awan, yang sedikit mengagetkanku.
“Iya Pak, terimakasih”, jawabku singkat.
Pak Awan mengajakku untuk pulang, karena hari mulai petang dan langit terlihat mendung. Kami pun berpisah dan menuju rumah masing-masing. Sampai dirumah adzan maghrib berkumandang bersahutan dengan suara deras hujan yang baru saja turun. Selepas sholat maghrib dan isya, biasanya Aku sudah siap menonton televisi di ruang keluarga, tapi malam ini tidak. Aku tidak bergairah menonton televisi, selain itu hujan diluar sangat deras, jadi kalau Aku menyalakan televisi percuma saja, karena suara televisi akan kalah dengan suara dera hujan. Aku langsung masuk kamar sambil menikmati cemilan. Mataku mulai menatap monitor laptop yang berisi tugas administrasi ku. Otak dan jari tangan, benar-benar aku fokuskan untuk menyusun dan mengetik kesimpulan dari makalah ku tadi. Selesai. Tiba-tiba pikiranku melayang dan terlihat bayangan Pak Awan disana. Bayang wajahnya, suaranya, dan senyumnya masih terekam kuat dalam memoriku. Ah, mungkin ini hanya rasa kagumku saja padanya. Aku segera mematikan laptopku dan beranjak tidur.
            Semenjak pertemuanku dengan Pak Awan di taman kota, Aku menjadi dekat dengan Pak Awan. Aku pun mulai terjun dalam organisasi kampus karena motivasi dari beliau. Aku juga semakin istiqomah untuk megenakan hijab. Semangat belajar dan berorganisasi kini selalu menggebu, karena motivasi dan tantangan dari Pak Awan. Diam-diam Aku sering memperhatikan Pak Awan kalau sedang mengajar ataupun ketika berorganisasi. Perfect. Mungkin kata itu yang keluar dari bibirku melihat sosok Pak Awan. Pak Awan adalah sosok lelaki ideal yang pantas untuk menjadi pendamping semua wanita. Aku perhatikan pula, ada salah satu kakak tingkat perempuan yang  sering mengobrol dengan Pak Awan. Sepertinya dia sangat akrab dengan Pak Awan. Dan entah mengapa, Aku merasa cemburu dan risih ketika melihat mereka bercengkerama. Sepertinya rasa kagumku pada Pak Awan telah berubah menjadi virus merah jambu. Tapi Aku berusaha untuk menutupi rasa ini dari beliau, karena Aku tidak ingin beliau menjauh dariku seandainya beliau tahu bahwa Aku suka padanya. Semakin Aku sering bertemu dengan Pak Awan, rasa cinta itu semakin tertanam kuat dalam hatiku. Aku tidak kuasa untuk menahan rasa ini. Maka, Aku bercerita pada Roro bahwa Aku menyukai Pak Awan.
“Apa? Lo suka sama Pak Awan? Lo lagi nggak bercanda kan, Zra?”, tanya Roro terkejut sambil menepuk-nepuk pipiku.
“Gue serius Ndut. Gue suka sama Pak Awan. Tapi, gue nggak berani ngungkapin rasa ini. Sebab, gue nggak mau Pak Awan menjauh dari gue”, balasku dengan nada sedih.
“Tapi selisih usia lo sama Pak Awan jauh banget, 11 tahun Zra, 11 tahun. Beliau itu pantesnya jadi Om lo, bukan pacar lo”
“Usia nggak akan jadi masalah buat gue. Ndut, gue nggak bisa nghapus perasaan ini”
“Yuph, gue ngerti kok Zra. Nggak segampang itu melupakan orang yang udah tersimpan di hati kita. Gue tahu, kalau lo itu orang yang nggak gampang jatuh cinta, jadi kalau lo emang beneran suka sama Pak Awan, lo ungkapin aja perasaan lo karena gue yakin pasti Pak Awan juga bakalan ngertiin lo”
Walaupun Roro menyarankan agar Aku jujur dengan Pak Awan, Aku tetap memendam perasaan ini.
****
Tak terasa sudah satu setengah tahun kedekatanku dengan Pak Awan. Namun, Aku masih memendam perasaanku ini. Hatiku bahagia bukan kepalang mengetahui bahwa kakak tingkat perempuan yang akrab dengan Pak Awan ternyata adalah keponakan beliau. Entah mengapa, perhatianku pada Pak Awan, seolah mulai berbalas. Beliau tidak sungkan untuk menceritakan pengalaman dan masa lalunya padaku. Bahkan Pak Awan sempat beberapa kali mengajakku untuk tadabbur alam bersama komunitas yang beliau pimpin. Beliau pernah mengajakku untuk silaturrahim kerumahnya dan memperkenalkan aku pada keluarganya. Selain itu, beliau juga pernah dua kali berkunjung ke rumah ku, bertemu dengan Abi dan Umi. Rasanya Aku benar-benar ingin mengungkapkan perasaan ini dan mendengar jawaban kalau beliau pun memiliki perasaan yang sama dengan ku.
Besok Aku akan menghadapi ujian semester lima, jadi Aku belajar keras agar Indeks Prestasi ku bagus. “Semangat, Ezra!!!  No contek! Harus jujur! Ok??”. Sebuah sms singkat dari Pak Awan yang berisi pesan untukku. Bagiku sms itu bukan sekedar pesan semata, tetapi memberi kesan mendalam. Mungkin diantara semua mahasiswa, hanya Aku yang mendapat sms khusus dari Pak Awan. Ya Allah jagalah Pak Awan dimanapun beliau berada.
Selepas UAS, Aku akan diajak oleh Abi dan Umi ke tempat Eyang di Jambi. Mungkin kali ini, Aku akan menghabiskan waktu liburanku di sana. Aku juga sudah berpamitan dengan Roro. Ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk. Sebuah sms dari Pak Awan yang mengajakku bertemu di taman kota. Jari tanganku langsung membalas SMS itu, mengiyakan ajakan Pak Awan. Sampai di taman kota, Aku melihat Pak Awan sedang duduk di sebuah gazebo taman. Langsung Aku menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, Pak Awan”, sapaku.
“Wa’alaikumussalam, Ezra. Sini duduk”, jawab Pak Awan.
“Ada apa ya Pak, tumben Bapak ngajak saya bertemu”, tanyaku
“Maaf ya Zra, kalau saya sudah mengganggu waktumu. Sebenarnya saya mau ngomong sesuatu sama kamu”.
“Mau ngomong apa Pak?”, tanyaku heran sambil menaruh harap kalau Pak Awan akan menyatakan cintanya padaku.
“Saya cuma mau ngasih ini. Ini tanda terimakasih saya sama kamu, karena kamu sudah menjadi mahasiswa terbaik saya. Jujur, saya kagum sama kamu”, jawab Pak Awan.
“E,eeeee, Masa sih Pak? Memangnya saya kenapa Pak? Kok Bapak kagum sama Saya?, tanyaku sambil terbata-bata.
“Menurut saya kamu berbeda dengan mahasiswa lain. O ya, saya dengar dari Roro,katanya Kamu mau liburan ke Jambi? Benar begitu?
“Iya, Pak. Saya sama orangtua mau silaturrahim ke tempat Eyang”,jawabku.
“Kamu jaga kesehatan biar bisa terus semangat”.
“I...iya Pak. Insya Allah”.
****
Kata-kata Pak Awan sore tadi terus membayang dalam pikranku. Terasa mesra, tapi mengapa kalimat yang kunanti dari bibir Pak Awan sama sekali tidak kudengar. Ah, tapi Aku sudah cukup bahagia dengan pertemuan tadi dan sebuah buku diary cantik hadiah dari beliau. Terselip juga sebuah foto diriku dengan Pak Awan di halaman depan buku diary itu.
Selama di Jambi, Aku isi notebook ku dengan catatan harianku disana. Aku pun mencurahkan segala perasaan yang selama ini Aku pendam padanya. Aku berharap, ketika Aku pulang ke rumah, Pak Awan akan menanyakan buku diary itu dan membaca isinya. Sudah hampir satu bulan Aku di Jambi. Aku tak kuasa menahan rindu pada Roro dan Pak Awan. Dua minggu ini Aku juga tidak berkomunikasi dengan beliau. Pesan singkat sempat Aku layangkan padanya, tapi tidak pernah ada jawaban. Aku takut kalau Pak Awan kenapa-kenapa. Aku sudah membulatkan tekad, bahwa sepulangnya dari Jambi, Aku akan jujur dengan perasaanku pada Pak Awan. Aku tak peduli apakah beliau akan menerimaku atau tidak, yang terpenting Aku  bisa mengeluarkan gundah gulana yang selama ini merasuk dalam pikiranku.
Hari yang kunanti tiba, Aku telah pulang ke rumah tercinta. Senyum hangat Roro menyambut kedatanganku dan orangtua dirumah. Aku memeluknya erat-erat, dan tidak lupa memberinya oleh-oleh khas Jambi. Tapi, Aku merasa ada yang aneh padanya. Roro terlihat lebih pendiam, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Aku mengajaknya ke tempat yang biasa untuk nongkrong kita. Aku menanyakan hal apakah yang Roro sembunyikan dariku. Tidak biasanya dia seperti ini. Roro mengambil sebuah kertas undangan pernikahan dari dalam tasnya. Dengan ragu dan terbata-terbata, Roro berkata bahwa kertas undangan itu dari Pak Awan. Perasaan ku tak enak, sehingga dengan sigap Aku langsung membuka kertas undangan itu. Ya Allah, alangkah hancur hatiku, melihat nama Pak Awan tersemat bersanding dengan nama seorang perempuan yang tidak aku kenal.
“Pak Awan akan menikah lusa besok Zra. Maafin aku, karena aku baru ngabarin kamu soal ini, soalnya Aku nggak mau hati kamu hancur Zra. Maafin Aku”, kata Roro.
Air mataku menetes deras dan segera aku berlari meninggalkan Roro. Aku segera masuk ke kamar dan menangis sepuasnya. Hatiku benar-benar hancur. Mengapa Pak Awan tega denganku. Waktu itu beliau berkata kalu beliau kagum padaku, tapi mengapa sekarang beliau justru akan menikah dengan perempuan lain.
“Ezra, kamu kenapa Sayang. Ayo keluar. Ada Roro disini”, suara Umi dari luar kamar.
Aku tak membalas sepatah katapun. Aku larut dengan kesedihan ini, rasanya Aku ingin menjerit sekencang-kencangnya karena tak kuasa menahan pedih hati ini.
Sudah satu hari ini Aku mengurung diri di kamar. Selera makanku benar-benar telah hilang. Besok adalah acara pernikahan Pak Awan, itu artinya Pak Awan akan sah menjadi milik perempuan lain. Tiba-tiba suara Umi terdengar dari belakangku. Ternyata Umi membuka kamarku dengan kunci cadangan. Umi mendekatiku dan langsung memelukku. Sepertinya Umi sudah mengetahui yang sebenarnya dari Roro. Beliau berusaha menghiburku dan menenagkan hatiku agar Aku bisa rela dengan takdir Allah ini. Aku menangis dalam pelukan hangat Umi. Aku berusaha untuk menenangkan diriku dan meresapi nasihat Umi.
Aku memutuskan untuk datang ke acara pernikahan Pak Awan bersama Roro. Sengaja Aku dan Roro datang lebih awal, karena Aku ingin melihat Pak Awan mengikrarkan janji setia pada perempuan yang dicintainya. Walaupun Aku harus menahan rasa sakit yang nantinya akan menyerang hatiku.
“Saya terima nikahnya Nurma Syarifah binti Raharja dengan maskawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 15 kg dibayar tunai”, suara Pak Awan mengucapkan qobul nikah.
Aku tak sanggup menahan air mata ini. Sakit. Sakit sekali. Roro yang duduk disampingku memeluk bahuku, seolah ia sangat tahu dengan sakit yang Aku rasakan ini. Aku segera menghapus air mata ini. Aku harus menahannya. Aku tidak ingin terlihat sedih di hari pernikahan Pak Awan. Ku lihat beliau sangat bahagia bersanding dengan perempuan yang sekarang telah halal baginya.
“Selamat ya Pak, akhirnya Bapak mendapat jodoh yang shaleha, yang selama ini Bapak idamkan”, ucapku pada pada Pak Awan.
“Terimaksih ya Zra. Semoga kamu juga akan mendapat jodoh yang sholeh juga”, jawab pak Awan
Aku tersenyum pada Pak Awan dan istrinya, lalu berlalu pergi dari mereka. Kali ini Aku benar-benar tak kuasa menahan air mata, sehingga Aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Sampai dirumah Aku langsung masuk kamar dan menangis. Umi yang melihatku, membiarkanku dalam kamar. Sepertinya Beliau ingin agar Aku menenangkan diri terlebih dahulu.
Kini aku berusaha untuk merelakan Pak Awan, walau berat tapi harus kucoba. Tak terasa kini Aku sudah lulus dan menjadi seorang Sarjana. Bayang-bayang Pak Awan pun juga mulai sirna dari fikiranku. Apalagi setelah mendengar berita kalau Pak Awan sudah memilki anak, hatiku turut merasa gembira. Aku akan mulai menapaki hidup ini dengan dewasa dan semangat. Mungkin dari hal pahit yang pernah ku alami, Aku akan menuai hal manis suatu hari nanti.





cerpen cinta dengan dosen



Kini, Saya Ikhlas…
Namaku Sifira Ezra Abdillah. Usia ku baru 19 tahun. Angka 19 adalah angka favoritku. Entah apa penyebabnya, mengapa aku menyukai angka itu, mungkin karena Aku terlahir di tanggal 19. Sebenarnya Aku mempunyai adik, tetapi ia telah meninggal di usia 9 tahun, karena demam berdarah. Jadilah Aku anak satu-satunya Abi dan Umi. Eits, jangan dikira Aku ini wanita yang seperti akhwat-akhwat itu ya. Aku memang memakai hijab, tapi masih buka-tutup . Nonton, nulis, tidur dan nongkrong adalah hobiku. Kalau masalah nongkrong, itu hobi favorit ku dengan teman dekatku, Roro. Aku kenal Roro sejak SMP, sehingga aku sangat kenal baik dengannya. Roro adalah sahabat yang selalu ada buatku, ya walaupun kadang-kadang nyebelin juga.
Hari Senin itu adalah hari pertama ku masuk perkuliahan semester dua di kampus. Aku berjalan dengan sedikit terburu-terburu, karena aku tidak ingin terlambat masuk kelas di hari pertama kuliah semester genap. Namun, Aku bingung karena tidak tahu dimana letak ruang kelasku. Maklumlah, Aku memang anak supel yang cuma kuliah lalu pulang. Tiba-tiba saat Aku hendak berbelok dari lorong kampus, Aku menabrak seorang lelaki yang usianya jauh lebih dewasa dari ku.
“ Maaf-maaf, saya nggak sengaja. Kamu nggak papa?” tanya lelaki itu padaku.
“Em.... iya. Aku nggak papa kok Mas”, jawabku singkat.
“ Ezra, ngapain lo disitu, ayo sini masuk kelas”, teriak Roro di depan kelas yang      berjarak 400 meter dari tempat aku berdiri.
“Iya ndut, gue mau kesitu kok, jawabku pada Roro yang biasa aku panggil Mendut.
“Aku duluan ya mas, permisi”, lanjutku pada lelaki itu dan pergi berlalu darinya.
Jam menunjukkan pukul 13.30 WIB, itu artinya tinggal satu mata kuliah lagi. Mataku sudah sayup-sayup ingin ku pejamkan segera. Aku  ingin cepat pulang dan membaringkan tubuhku di kasur. Tapi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran sesosok lelaki yang tadi menabrakku. “Mau apa lelaki itu ke kelasku?”, tanyaku dalam hati. Lelaki itu membuka pertemuan dengan salam hangat dan dilanjutkan dengan memperkenalkan dirinya. Aku semakin terkejut, setelah ku tahu bahwa dia adalah dosen pengampu mata kuliah administrasi.
“Ya, ampun, jadi dia dosen? Tadi gue panggil dia Mas. Ezra, ezra, udah satu semester kuliah, masa sih lo nggak tahu mana dosen mana mahasiswa” gumamku dalam hati sambil menahan malu, saat lelaki itu menatapku.
Namanya Pak Rahmawan, dan biasa dipanggil Pak Awan. Usianya tigapuluh tahun, tapi masih menjomblo, alias belum menikah. Waah, Abi saja menikah dengan Umi diusia 25 tahun. Pak Awan bilang, kalau beliau sebenarnya pernah beberapa kali menjalin hubungan asmara dengan wanita, namun kemudian ditinggal menikah oleh wanita-wanita itu. Beliau juga memilki ujian khusus bagi calon wanita yang ingin menjadi istrinya. Tapi wanita itu kebanyakan tidak lulus dari ujian beliau. Alhasil, Pak Awan masih menjomblo sampai sekarang. Sabar ya Pak, kebanyakan syarat sih. Tapi, Aku salut dengan Pak Awan, karena ternyata beliau adalah orang yang religius, calon doktor dan orang hebat di tempat tinggalnya.
Semenjak Aku kenal dengan Pak Awan, Aku selalu semangat mengikuti mata kuliahnya. Cara beliau mengajar sangat memotivasi mahasiswa, aktif, dan selalu bikin tantangan-tantangan seru untuk mahasiswa.
Suatu sore, Aku sengaja pergi ke taman kota untuk merefreshkan pikiran sambil menyelesaikan tugas kuliah. Aku memilih gazebo di sudut taman, agar tidak terlalu risih melihat muda-mudi yang sedang memadu kasih. Saat Aku sedang asyik menggerakan jari tanganku di keyboard laptop, tiba-tiba Aku mendengar suara lelaki memanggil namaku dari arah belakang. Ternyata itu suara Pak Awan. Dia meminta izin untuk ikut duduk didepanku, dan aku mengizinkannya. Kebetulan sekali, Aku sedang mengerjakan tugas administrasi, jadi bisa langsung konsultasi ke empunya.
“Bapak, lagi apa disini? Tumben ada di taman kota, emang Bapak nggak risih sama mereka?” , tanyaku sambil melirikan mata pada muda-mudi yang sedang asyik berduaan.
“Memangnya saya nggak boleh disini, tho? Kan asyik bisa jalan-jalan di taman kota,  lihat fenomena-fenomena baru buat jadi bahan penelitian”, jawab beliau sambil tersenyum.
“Lah, kamu ngapin ada disini? Lihat mereka juga? Atau lagi nunggu pacarmu yang nggak dateng-dateng?”, tanya beliau dengan logat khas Jawa sambil memperlihatkan gigi-gigi nya yang putih.
“Nggak kok, Pak. Kurang kerjaan banget saya nungguin pacar, punya pacar juga nggak. Saya lagi ngerjain tugas administrasi, Pak. Kebetulan pas Bapak disini, jadi saya bisa konsultasi langsung ke empunya”, jawabku dengan senyum.
“Walah, kamu ini. Ya sudah, coba saya lihat sudah sampai mana hasilnya?, timpal Pak Awan.
Pak Awan memegang laptopku dan mulai membaca tugas ku. Tak sengaja, Aku menatapnya, menatap mata dan wajahnya. Dalam dan semakin dalam. Pak Awan adalah sosok lelaki luar biasa, sehingga beliau pun sangat selektif memilih pasangan hidup.
“Makalahmu sudah bagus kok. Nanti, kamu simpulkan isi makalahnya ya”, kata Pak Awan, yang sedikit mengagetkanku.
“Iya Pak, terimakasih”, jawabku singkat.
Pak Awan mengajakku untuk pulang, karena hari mulai petang dan langit terlihat mendung. Kami pun berpisah dan menuju rumah masing-masing. Sampai dirumah adzan maghrib berkumandang bersahutan dengan suara deras hujan yang baru saja turun. Selepas sholat maghrib dan isya, biasanya Aku sudah siap menonton televisi di ruang keluarga, tapi malam ini tidak. Aku tidak bergairah menonton televisi, selain itu hujan diluar sangat deras, jadi kalau Aku menyalakan televisi percuma saja, karena suara televisi akan kalah dengan suara dera hujan. Aku langsung masuk kamar sambil menikmati cemilan. Mataku mulai menatap monitor laptop yang berisi tugas administrasi ku. Otak dan jari tangan, benar-benar aku fokuskan untuk menyusun dan mengetik kesimpulan dari makalah ku tadi. Selesai. Tiba-tiba pikiranku melayang dan terlihat bayangan Pak Awan disana. Bayang wajahnya, suaranya, dan senyumnya masih terekam kuat dalam memoriku. Ah, mungkin ini hanya rasa kagumku saja padanya. Aku segera mematikan laptopku dan beranjak tidur.
            Semenjak pertemuanku dengan Pak Awan di taman kota, Aku menjadi dekat dengan Pak Awan. Aku pun mulai terjun dalam organisasi kampus karena motivasi dari beliau. Aku juga semakin istiqomah untuk megenakan hijab. Semangat belajar dan berorganisasi kini selalu menggebu, karena motivasi dan tantangan dari Pak Awan. Diam-diam Aku sering memperhatikan Pak Awan kalau sedang mengajar ataupun ketika berorganisasi. Perfect. Mungkin kata itu yang keluar dari bibirku melihat sosok Pak Awan. Pak Awan adalah sosok lelaki ideal yang pantas untuk menjadi pendamping semua wanita. Aku perhatikan pula, ada salah satu kakak tingkat perempuan yang  sering mengobrol dengan Pak Awan. Sepertinya dia sangat akrab dengan Pak Awan. Dan entah mengapa, Aku merasa cemburu dan risih ketika melihat mereka bercengkerama. Sepertinya rasa kagumku pada Pak Awan telah berubah menjadi virus merah jambu. Tapi Aku berusaha untuk menutupi rasa ini dari beliau, karena Aku tidak ingin beliau menjauh dariku seandainya beliau tahu bahwa Aku suka padanya. Semakin Aku sering bertemu dengan Pak Awan, rasa cinta itu semakin tertanam kuat dalam hatiku. Aku tidak kuasa untuk menahan rasa ini. Maka, Aku bercerita pada Roro bahwa Aku menyukai Pak Awan.
“Apa? Lo suka sama Pak Awan? Lo lagi nggak bercanda kan, Zra?”, tanya Roro terkejut sambil menepuk-nepuk pipiku.
“Gue serius Ndut. Gue suka sama Pak Awan. Tapi, gue nggak berani ngungkapin rasa ini. Sebab, gue nggak mau Pak Awan menjauh dari gue”, balasku dengan nada sedih.
“Tapi selisih usia lo sama Pak Awan jauh banget, 11 tahun Zra, 11 tahun. Beliau itu pantesnya jadi Om lo, bukan pacar lo”
“Usia nggak akan jadi masalah buat gue. Ndut, gue nggak bisa nghapus perasaan ini”
“Yuph, gue ngerti kok Zra. Nggak segampang itu melupakan orang yang udah tersimpan di hati kita. Gue tahu, kalau lo itu orang yang nggak gampang jatuh cinta, jadi kalau lo emang beneran suka sama Pak Awan, lo ungkapin aja perasaan lo karena gue yakin pasti Pak Awan juga bakalan ngertiin lo”
Walaupun Roro menyarankan agar Aku jujur dengan Pak Awan, Aku tetap memendam perasaan ini.
****
Tak terasa sudah satu setengah tahun kedekatanku dengan Pak Awan. Namun, Aku masih memendam perasaanku ini. Hatiku bahagia bukan kepalang mengetahui bahwa kakak tingkat perempuan yang akrab dengan Pak Awan ternyata adalah keponakan beliau. Entah mengapa, perhatianku pada Pak Awan, seolah mulai berbalas. Beliau tidak sungkan untuk menceritakan pengalaman dan masa lalunya padaku. Bahkan Pak Awan sempat beberapa kali mengajakku untuk tadabbur alam bersama komunitas yang beliau pimpin. Beliau pernah mengajakku untuk silaturrahim kerumahnya dan memperkenalkan aku pada keluarganya. Selain itu, beliau juga pernah dua kali berkunjung ke rumah ku, bertemu dengan Abi dan Umi. Rasanya Aku benar-benar ingin mengungkapkan perasaan ini dan mendengar jawaban kalau beliau pun memiliki perasaan yang sama dengan ku.
Besok Aku akan menghadapi ujian semester lima, jadi Aku belajar keras agar Indeks Prestasi ku bagus. “Semangat, Ezra!!!  No contek! Harus jujur! Ok??”. Sebuah sms singkat dari Pak Awan yang berisi pesan untukku. Bagiku sms itu bukan sekedar pesan semata, tetapi memberi kesan mendalam. Mungkin diantara semua mahasiswa, hanya Aku yang mendapat sms khusus dari Pak Awan. Ya Allah jagalah Pak Awan dimanapun beliau berada.
Selepas UAS, Aku akan diajak oleh Abi dan Umi ke tempat Eyang di Jambi. Mungkin kali ini, Aku akan menghabiskan waktu liburanku di sana. Aku juga sudah berpamitan dengan Roro. Ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk. Sebuah sms dari Pak Awan yang mengajakku bertemu di taman kota. Jari tanganku langsung membalas SMS itu, mengiyakan ajakan Pak Awan. Sampai di taman kota, Aku melihat Pak Awan sedang duduk di sebuah gazebo taman. Langsung Aku menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, Pak Awan”, sapaku.
“Wa’alaikumussalam, Ezra. Sini duduk”, jawab Pak Awan.
“Ada apa ya Pak, tumben Bapak ngajak saya bertemu”, tanyaku
“Maaf ya Zra, kalau saya sudah mengganggu waktumu. Sebenarnya saya mau ngomong sesuatu sama kamu”.
“Mau ngomong apa Pak?”, tanyaku heran sambil menaruh harap kalau Pak Awan akan menyatakan cintanya padaku.
“Saya cuma mau ngasih ini. Ini tanda terimakasih saya sama kamu, karena kamu sudah menjadi mahasiswa terbaik saya. Jujur, saya kagum sama kamu”, jawab Pak Awan.
“E,eeeee, Masa sih Pak? Memangnya saya kenapa Pak? Kok Bapak kagum sama Saya?, tanyaku sambil terbata-bata.
“Menurut saya kamu berbeda dengan mahasiswa lain. O ya, saya dengar dari Roro,katanya Kamu mau liburan ke Jambi? Benar begitu?
“Iya, Pak. Saya sama orangtua mau silaturrahim ke tempat Eyang”,jawabku.
“Kamu jaga kesehatan biar bisa terus semangat”.
“I...iya Pak. Insya Allah”.
****
Kata-kata Pak Awan sore tadi terus membayang dalam pikranku. Terasa mesra, tapi mengapa kalimat yang kunanti dari bibir Pak Awan sama sekali tidak kudengar. Ah, tapi Aku sudah cukup bahagia dengan pertemuan tadi dan sebuah buku diary cantik hadiah dari beliau. Terselip juga sebuah foto diriku dengan Pak Awan di halaman depan buku diary itu.
Selama di Jambi, Aku isi notebook ku dengan catatan harianku disana. Aku pun mencurahkan segala perasaan yang selama ini Aku pendam padanya. Aku berharap, ketika Aku pulang ke rumah, Pak Awan akan menanyakan buku diary itu dan membaca isinya. Sudah hampir satu bulan Aku di Jambi. Aku tak kuasa menahan rindu pada Roro dan Pak Awan. Dua minggu ini Aku juga tidak berkomunikasi dengan beliau. Pesan singkat sempat Aku layangkan padanya, tapi tidak pernah ada jawaban. Aku takut kalau Pak Awan kenapa-kenapa. Aku sudah membulatkan tekad, bahwa sepulangnya dari Jambi, Aku akan jujur dengan perasaanku pada Pak Awan. Aku tak peduli apakah beliau akan menerimaku atau tidak, yang terpenting Aku  bisa mengeluarkan gundah gulana yang selama ini merasuk dalam pikiranku.
Hari yang kunanti tiba, Aku telah pulang ke rumah tercinta. Senyum hangat Roro menyambut kedatanganku dan orangtua dirumah. Aku memeluknya erat-erat, dan tidak lupa memberinya oleh-oleh khas Jambi. Tapi, Aku merasa ada yang aneh padanya. Roro terlihat lebih pendiam, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Aku mengajaknya ke tempat yang biasa untuk nongkrong kita. Aku menanyakan hal apakah yang Roro sembunyikan dariku. Tidak biasanya dia seperti ini. Roro mengambil sebuah kertas undangan pernikahan dari dalam tasnya. Dengan ragu dan terbata-terbata, Roro berkata bahwa kertas undangan itu dari Pak Awan. Perasaan ku tak enak, sehingga dengan sigap Aku langsung membuka kertas undangan itu. Ya Allah, alangkah hancur hatiku, melihat nama Pak Awan tersemat bersanding dengan nama seorang perempuan yang tidak aku kenal.
“Pak Awan akan menikah lusa besok Zra. Maafin aku, karena aku baru ngabarin kamu soal ini, soalnya Aku nggak mau hati kamu hancur Zra. Maafin Aku”, kata Roro.
Air mataku menetes deras dan segera aku berlari meninggalkan Roro. Aku segera masuk ke kamar dan menangis sepuasnya. Hatiku benar-benar hancur. Mengapa Pak Awan tega denganku. Waktu itu beliau berkata kalu beliau kagum padaku, tapi mengapa sekarang beliau justru akan menikah dengan perempuan lain.
“Ezra, kamu kenapa Sayang. Ayo keluar. Ada Roro disini”, suara Umi dari luar kamar.
Aku tak membalas sepatah katapun. Aku larut dengan kesedihan ini, rasanya Aku ingin menjerit sekencang-kencangnya karena tak kuasa menahan pedih hati ini.
Sudah satu hari ini Aku mengurung diri di kamar. Selera makanku benar-benar telah hilang. Besok adalah acara pernikahan Pak Awan, itu artinya Pak Awan akan sah menjadi milik perempuan lain. Tiba-tiba suara Umi terdengar dari belakangku. Ternyata Umi membuka kamarku dengan kunci cadangan. Umi mendekatiku dan langsung memelukku. Sepertinya Umi sudah mengetahui yang sebenarnya dari Roro. Beliau berusaha menghiburku dan menenagkan hatiku agar Aku bisa rela dengan takdir Allah ini. Aku menangis dalam pelukan hangat Umi. Aku berusaha untuk menenangkan diriku dan meresapi nasihat Umi.
Aku memutuskan untuk datang ke acara pernikahan Pak Awan bersama Roro. Sengaja Aku dan Roro datang lebih awal, karena Aku ingin melihat Pak Awan mengikrarkan janji setia pada perempuan yang dicintainya. Walaupun Aku harus menahan rasa sakit yang nantinya akan menyerang hatiku.
“Saya terima nikahnya Nurma Syarifah binti Raharja dengan maskawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 15 kg dibayar tunai”, suara Pak Awan mengucapkan qobul nikah.
Aku tak sanggup menahan air mata ini. Sakit. Sakit sekali. Roro yang duduk disampingku memeluk bahuku, seolah ia sangat tahu dengan sakit yang Aku rasakan ini. Aku segera menghapus air mata ini. Aku harus menahannya. Aku tidak ingin terlihat sedih di hari pernikahan Pak Awan. Ku lihat beliau sangat bahagia bersanding dengan perempuan yang sekarang telah halal baginya.
“Selamat ya Pak, akhirnya Bapak mendapat jodoh yang shaleha, yang selama ini Bapak idamkan”, ucapku pada pada Pak Awan.
“Terimaksih ya Zra. Semoga kamu juga akan mendapat jodoh yang sholeh juga”, jawab pak Awan
Aku tersenyum pada Pak Awan dan istrinya, lalu berlalu pergi dari mereka. Kali ini Aku benar-benar tak kuasa menahan air mata, sehingga Aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Sampai dirumah Aku langsung masuk kamar dan menangis. Umi yang melihatku, membiarkanku dalam kamar. Sepertinya Beliau ingin agar Aku menenangkan diri terlebih dahulu.
Kini aku berusaha untuk merelakan Pak Awan, walau berat tapi harus kucoba. Tak terasa kini Aku sudah lulus dan menjadi seorang Sarjana. Bayang-bayang Pak Awan pun juga mulai sirna dari fikiranku. Apalagi setelah mendengar berita kalau Pak Awan sudah memilki anak, hatiku turut merasa gembira. Aku akan mulai menapaki hidup ini dengan dewasa dan semangat. Mungkin dari hal pahit yang pernah ku alami, Aku akan menuai hal manis suatu hari nanti.





Jumat, 20 Mei 2016

CERPEN CINTA ISLAMI



PENGHUJUNG MAWADDAHKU
Semilir angin malam menyergap dan menusuk hingga tulang rusuk. Sisa hujan sore tadi masih tersisa dengan suara lirih gerimis. Hanya ada Faiza dan adiknya, Afnan didalam sebuah rumah kontrakan kecil itu. Kedua orangtuanya mengadu nasib ke negeri seberang, karena usaha konveksi dan kios baju milik orangtuanya bangkrut. Rumah mewah, mobil, motor dan perlengkapan mewah yang dulu mereka miliki telah mereka jual untuk membayar semua hutang. Hanya ada perlengkapan rumah tangga seadanya dan sebuah sepeda motor yang biasa digunakan Faiza dan Afnan untuk berangkat ke sekolah. Dalam gelap malam itu, mereka merindukan kehadiran kedua orangtuanya.  Mereka ingin agar orangtuanya bisa cepat kembali. Mereka juga akan selalu ingat pesan kedua orangtuanya sebelum pergi, bahwa mereka harus selalu saling menjaga, menyayangi dan bersama dalam keadaan apapun.
Embun pagi menjadi aroma tersendiri bagi alam. Semua orang telah siap untuk menjemput rezekinya. Dengan berpakaian seragam dan balutan jilbab panjang, Faiza telah siap untuk berangkat ke sekolah. Dia duduk dibangku kelas XII IPS Madrasah Aliyah. Sedangkan Afnan masih duduk di bangku kelas X SMK jurusan IT. Keduanya sama-sama mendapat beasiswa dari pihak sekolah, karena termasuk siswa berprestasi.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Faiza dan Afnan harus mengantar koran terlebih dahulu dan mengambil gorengan dan kue untuk nantinya mereka jual di sekolah. Setelah selesai mengantar koran, Faiza langsung mengantar Afnan ke sekolah dan baru kemuadian ia berangkat dengan sepeda motornya.
Sesampainya disekolah Faiza langsung mendapat sambutan hangat dari Fatma dan Nina, sahabat dekatnya sejak masih duduk dibangku Madrasah Tsanawiyah. Fatma dan Nina mengerti betul keadaan Faiza sekarang. Mereka tahu bahwa Faiza bukan orang yang suka meminta dan ingin dikasihani, sehingga cara mereka membantu sahabatnya adalah dengan membantu Faiza menjual dagangannya.
Adalah sosok Azhar, pemuda tampan, berkharisma dan mantan ketua OSIS di madrasah itu. Hampir semua gadis mengagumi  dan menyukainya, termasuk Fatma dan Faiza. Banyak gadis yang menyatakan persaannya pada Azhar, namun tidak ada satupun yang terbalas cintanya. Hanya Fatma yang kini menjadi obrolan hangat anak-anak karena kedekatannya dengan Azhar. Menurut mereka Azhar memang cocok dengan Fatma. Azhar seorang pemuda yang tampan, pintar dan berkharisma, sedangkan Fatma adalah gadis cantik keturunan Arab bermata lebar dan berhidung mancung. Namun, kabar itu tak pernah dihiraukan Azhar karena antara dirinya dan Fatma memang tidak ada hubungan apapun. Sedangkan Faiza, dia tidak terlalu dekat dengan Azhar. Dia juga tidak pernah menceritakan tentang perasaan yang ia pendam untuk Azhar kepada dua sahabatnya itu. Apalagi dia tahu betul kalau Fatma juga menyukai Azhar. Hanya Allah saja yang tahu tentang segala isi hatinya.
Hampir empat bulan setelah kepergian orangtuanya ke Hongkong, Faiza merasakan ada perubahan pada adiknya. Sepeda motor yang biasa dibawa olehnya, kini diminta oleh Afnan. Afnan juga jarang pulang, dengan alasan ada tugas kelompok, bicaranya pun menjadi sedikit kasar dan terkadang membentak Faiza. Suatu hari, saat Faiza sedang membersihkan kamar adiknya itu, ia mendapati sebuah botol yang masih tersisa sedikit alkohol, satu kaleng lem dan sebungkus rokok yang masih tersisa satu batang. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya.
“Ya Allah, apa mungkin Afnan........Astaghfirullah, aku nggak boleh su’uzan dulu. Semoga dugaanku salah. Afnan nggak mungkin mencoba barang haram ini.” Katanya dalam hati.
Handphone nya berbunyi. Ada panggilan masuk dari nomor yang ia tidak ketahui.
“Assalamu’alaikum. Selamat pagi. Betul ini dengan orangtua Afnan?.” Sapa Pak Haryo, Kepala Sekolah Afnan.
“ Wa’alaikumussalam. Betul, saya kakaknya. Maaf ini siapa ya? “ jawab Faiza.
“ Kami dari pihak sekolah, saya Pak Haryo Kepala Sekolah SMK IT Tunas Bangsa.
“ Iya Pak, maaf ada apa ya, Pak?.”
“Afnan sudah dua minggu tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Apa dia sakit?.”
“ Afnan dua minggu tidak sekolah, Pak?. Memang sudah tiga hari ini dia tidak pulang kerumah, katanya ada tugas kelompok yang harus segera diselesaikan. Tetapi sebelum-sebelumnya dia selalu berangkat ke sekolah, dia juga pamit sama saya, Pak. “
“ Memang akhir-akhir ini saya mendapat pengaduan dari guru pengampu kelasnya, kalau Afnan sering tidak mengikuti pelajaran, dan terakhir dia dipergoki sedang merokok di belakang sekolah.”
“Astaghfirullah... “
“ Saya mohon agar kakak Afnan mau mendampingi  dan menasehati Afnan. Ini demi kebaikan Afnan. Apalagi dia penerima beasiswa. Kami pihak sekolah tidak bisa mempertahankan beasiswanya kalau Afnan masih seperti ini.”
“Iya, Pak. Saya pasti akan nasehati dia. Terimakasih atas infonya, Pak.”
Sore harinya, Afnan pulang dengan sepeda motornya. Tanpa mengucap salam terlebih dahulu, ia langsung masuk kedalam rumah. Faiza yang sedang duduk diruang tamu langsung bertanya kepada Afnan.
“Habis darimana kamu?.” Tanya Faiza
“Bukan urusan kakak.” Jawabnya ketus.
“Bukan urusan kakak kamu bilang? Kamu bolos sekolah dua minggu, ngrokok, ngelem bahkan mabuk, kamu bilang bukan urusan kakak?”
“ Terus kenapa kalau aku kaya gitu? Kak, aku udah gede. Aku bukan anak kecil yang bisa diatur seenak hati kakak. Jadi kakak nggak usah ikut campur urusan aku.” Jawabnya dengan nada meninggi.
“Astaghfirullah. Sejak kapan kamu jadi kaya gini Af?” tanya Faiza sambil menangis.
“Aku udah bosen, Kak. Aku mau pergi dari sini. Kakak nggak usah nyariin aku.” Bentak Afnan.
Maka, Afnan pun benar-benar pergi dari rumah dengan sepeda motornya. Faiza hanya bisa menangis. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia juga terus mencari dimana keberadaan Afnan. Namun, hasilnya nol. Kini ia hanya bisa berdoa dan bermunajat kepada Allah swt. agar adiknya pulang dan dapat kembali menjadi seperti yang dulu.
Suatu pagi saat Faiza akan berangkat ke sekolah, ia mendapat telefon dari rumah sakit, yang memberi tahu bahwa adiknya sedang dirawat dirumah sakit karena kecelakaan. Faiza segera menuju ke rumah sakit. Ia ingin melihat kondisi adiknya. Sesampainya disana ia mendapati Afnan masih tergolek lemah dan tidak sadarkan diri.  Kepala, tangan kanan dan kaki kanannya juga diperban. Dokter mengatakan bahwa Afnan mengalami gegar otak ringan, namun kaki kanannya patah dan harus dipasang pen. Untuk perawatan dan pemasangan pen akan menghabiskan biaya sekitar sepuluh juta.
“ Dari mana aku dapetin uang sebanyak itu? Nggak mungkin aku bilang sama ayah ibu, nanti mereka pasti akan sedih. Ya Allah, tolonglah hambaMu ini.” Desah Faizah dalam batinnya.
Siang harinya, Fatma, Nina dan Azhar menjenguk Afnan dirumah sakit. Faiza juga menceritakan bahwa ia butuh uang sepuluh juta untuk biaya adiknya. Kali ini Faiza benar-benar butuh bantuan dari para sahabatnya. Dengan senang hati, mereka mau membantu Faiza. Dalam waktu dua hari, uang sepuluh juta berhasil dikumpulkan oleh Fatma, Nina dan Azhar. Mereka menarik sumbangan dari teman-teman sekolah, pihak sekolah dan orangtua mereka masing-masing. Kini Afnan bisa menjalani perawatan intensif dan pemasangan pen di kakinya. Tak lupa, Faiza pun mengucap syukur kepada Allah dan berterimakasih kepada sahabat-sahabatnya yang sudah banyak membantunya.
Diam-diam Azhar selalu memperhatikan Faiza. Ada rasa kagum dan perasaan lain dalam hatinya. Menurutnya, Faiza adalah wanita langka yang pernah ia kenal. Faiza adalah gadis yang shaleha, pendiam, sabar dan yang pasti dia selalu menjaga dirinya dari lelaki. Apalagi dia banyak mengetahui tentang Faiza dari Fatma. Ya, karena kedekatannya dengan Fatma, Fatma sering bercerita tentang Faiza kepada Azhar. Dari situlah Azhar mulai menyimpan rasa kepada Faiza.
            Semenjak kecelakaan yang menimpa Afnan, hubungan dengan kakaknya kian membaik. Ia juga menyesali kesalahan yang telah ia perbuat. Ia meminta maaf kepada kakaknya. Ia berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Alangkah mulia hati Faiza, ia sudah memaafkan segala kekhilafan adiknya. Ia teringat pesan orangtuanya, bahwa ia dan adiknya harus selalu saling menjaga, menyayangi dan bersama dalam keadaan apapun. Hari-harinya ia sibukkan untuk merawat Afnan agar Afnan segera pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa lagi.
            Ujian Nasional telah selesai dilalui. Kini, Faiza, Fatma, Nina dan Azhar tinggal menunggu hasil pengumumannya. Rasanya sudah tidak sabar bagi mereka untuk mengetahui hasil ujian mereka. Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saat acara pelepasan siswa, mereka dinyatakan lulus. Fatma menduduki peringkat pertama untu jurusan IPS, Faiza diurutan ketiga, dan Nina diurutan kelima. Sedangkan Azhar sudah pasti ada di urutan pertama untuk jurusan IPA. Semua gadis menyoraki dan memberi tepuk tangan yang meriah untuknya. Bahkan kalimat “ Azhar, I love you” juga sempat terdengar, namun entah siapa yang melontarkan. Semua orang bergembira dalam acara itu, tapi bagi Faiza, Fatma dan Nina tidak. Mereka akan berpisah. Fatma mendapat beasiswa kuliah di Australia, sedangkan Nina akan kuliah di Malaysia mengikuti jejak kakaknya. Tinggalah Faiza seorang diri yang masih menetap di tempat yang sama. Ia memutuskan untuk bekerja, agar bisa membantu beban kedua orangtuanya.
            Suatu siang saat Faiza sedang menunggu angkutan untuk pulang, tiba-tiba berhenti seorang lelaki dengan bersepeda motor tepat didepannya. Lelaki itu ternyata Azhar. Azhar menawarinya boncengan untuk mengantar hingga kerumahnya. Sebetulnya ia ingin menolak, namun rasa pegal dikakinya sudah tak bisa ia tahan lebih lama. Ia pun mengiyakan tawaran Azhar. Jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, mereka memutuskan untuk shalat dzuhur terlebih dahulu karena mereka sama-sama belum menunaikannya. Azhar menjadi imam shalat bagi Faiza. Selepas shalat jantung Faiza serasa berdegup lebih kencang. Ia tak menyangka, bahwa ia akan bersama Azhar dalam keadaan seperti ini. Segera ia beristighfar, ia tak mau setan menggodanya lebih dalam lagi.
Sebelum mengantarkan Faiza pulang, Azhar meminta Faiza menemaninya ke toko krudung didekat situ. Ia ingin membeli oleh-oleh untuk ibunya di Aceh. Faiza pun bersedia menemani dan ikut memilihkan krudung untuk ibu Azhar.
“ Za, menurut kamu yang ini bagus nggak? Ibuku suka krudung yang lebar, sama kaya kamu.” Tanya Azhar.
“ Bagus kok. Warnanya juga cantik. Pasti ibu kamu bakalan cantik banget pake krudung ini.”
“Oke,oke. Kalo yang warna pink ini?”
“Menurut aku, kayanya lebih bagus yang biru ini.” Jawab Faiza.
“Ya udah. Saya ambil dua ya mba.” Pinta Azhar kepada pelayan toko itu.
Azhar pun kemudian mengantar Faiza pulang. Ada rasa bahagia saat terakhirnya di Tangerang, ia bisa mengantar Faiza pulang kerumahnya. Esok harinya ia sengaja membuat janji untuk bertemu Fatma. Ia meminta maaf kepada Fatma, bahwa ia tidak bisa membalas cintanya. Ia juga pamit kepada Fatma, bahwa ia akan pulang ke Aceh. Ia akan kuliah disana. Dengan besar hati, Fatma menerima segala keputusan Azhar. Ia tahu bahwa rasa cinta tidak bisa dipaksakan. Mungkin Azhar memang bukan jodohnya. Ada orang lain yang sudah Allah siapkan untuk dirinya.
            Suatu pagi saat Faiza sedang menyapu teras rumah, ada seorang agen pengiriman barang yang mengantar suatu barang kepada Faiza. Tertera di bungkus barang itu seorang pengirim bernama Azhar. Matanya melebar. Untuk apa Azhar mengirim barang ini? Faiza pun membuka barang itu. Ternyata sebuah kerudung berwarna biru yang dibeli Azhar bersamanya dua hari yang lalu. Ia pun membaca sepucuk surat dari Azhar.
Assalamu’alaikum wr.wb
Teruntuk: Faiza.
Faiza, mungkin saat kiriman ini sampai kepadamu, aku telah berangkat ke Aceh. Aku pulang ke Aceh dan akan kuliah disana. Maafkan aku jikalau aku pernah menyakitimu. Aku merasa kagum padamu. Kamu adalah wanita langka yang pernah aku kenal. Kerudung yang sekarang ada ditanganmu memang sengaja aku beli untukmu.
Semoga, kamu bisa menggapai cita-citamu. Doakan aku pula agar aku bisa menjadi arsitek hebat dan bisa berjumpa denganmu lagi.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Azhar
Mata Faiza berkaca-berkaca membaca surat Azhar. Ia tak menyangka bahwa Azhar akan memberinya kenangan yang begitu indah. Ia semakin bersemangat untuk menggapai impiannya menjadi desainer muda yang sukses.
Tujuh tahun kemudian, Faiza benar-benar telah membuktikan jeri payahnya. Kini ia telah menjadi salah satu desainer fashion muslim ternama. Ia sekarang telah memilki sepuluh butik yang tersebar di Jakarta, Bekasi, Bandung dan Tangerang. Ia juga bisa membiayai kuliah Afnan. Orangtuanya pun telah kembali dari Hongkong. Kini mereka telah menempati rumah mewah di salah satu perumahan elit. Walaupun begitu, Faiza dan keluarga tak pernah lupa untuk berbagi. Mereka sering mengunjungi panti asuhan, panti jompo dan gelandangan untuk berbagi. Kebahagiaan yang dulu pernah mereka rindukan, kini bisa mereka rasakan kembali.
Saat ada reuni sekolah, tak disangka bahwa Faiza akan bertemu dengan Azhar. Kini Azhar telah menjadi seorang arsitek muda, yang namanya mulai dikenal oleh banyak orang. Disana Faiza juga bertemu dengan Fatma dan Nina yang kini juga telah sukses pada karir masing-masing.
Dua hari setelah acara reuni itu, Azhar datang ke butik pusat milik Faiza. Ditemuinya Faiza yang sedang serius menggambar desain baju terbarunya.
“ Assalamu’alaikum, Faiza.” Sapa Azhar.
“Wa’alaikumussalam, eh Azhar. Silahkan duduk. Ada apa?
“ Gini Za, kamu kan sekarang udah jadi desainer terkenal, aku mau minta bantuan sama kamu, boleh kan?.” Tanya Azhar.
“ Masih belajar kok, Har. Emang aku mesti apa?
“Aku mau dibikinin gaun pengantin yang indah.”
“Gaun pengantin? Memangnya untuk siapa? Dan buat apa?”
“ Buat calon istriku, namanya Aliya. Aku ingin dihari pernikahan nanti, dia tampil cantik dengan gaun pengantin indah karya Faiza.”
Detak jantung Faiza serasa berhenti berdetak. Dadanya sesak. Azhar akan menikah dengan perempuan lain. Jadi, apalah arti penantiannya selama ini. Ia menunggu Azhar dan berharap bahwa Azhar akan kembali dan meminangnya. Namun, harapan itu kandas. Azhar akan menempuh hidup baru bersama perempuan lain.
“Za, Faiza!” panggil Azhar.
“E...e iya.”
“Kamu mau kan terima pesanan aku?
“ Ya Insyaalllah. Tapi aku perlu waktu untuk merancang dan menjahitnya.”
“ Iya, Za. Itu wajar kok. Untuk ukuran badan sama persis kaya kamu.  Makasih ya Za. Aku pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Sama-sama. Wa’alaikumussalam.”’
Dalam hatinya ada rasa sakit yang tidak bisa ia ungkapkan. Tapi, sekali lagi dia harus tetap berhusnuzan kepada Allah. Mungkin Allah telah menyiapkan seseorang yang lebih baik baginya. Dia ingin gaun yang Azhar pesan bisa terselesaikan dengan cepat dan dengan hasil yang memuaskan. Hatinya mulai mengikhlaskan Azhar untuk wanita lain. Ia ingin gaun yang dibuatnya nanti terlihat indah saat dipakai oleh calon istri Azhar.
Dalam waktu sebulan Faiza telah menyelesaikan gaun buatannya. Gaun itu berwarna putih, dengan hiasan bunga yang menambah apik orang yang melihatnya. Azhar pun segera datang ke butik Faizah. Ia sangat tertegun melihat indahnya gaun pengantin itu. Selain mengambil gaun pesanannya itu, ia juga bermaksud mengundang Faiza pada acara makan malamnya. Dia akan memperkenalkan kedua orangtuanya dan Aliya kepada Faiza, Fatma dan Nina.
“ Jangan lupa ajak orangtuamu sama Afnan ya. Aku juga undang orangtua Fatma dan Nina.”pesan Azhar.
Malam ini acara makan malam Azhar. Faiza datang ke acara itu bersama kedua orangtuanya dan Afnan. Sudah banyak orang disana, termasuk Fatma dan Nina yang juga datang bersama orangtua mereka. Jam sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB, itu artinya acara akan segera dimulai. Faiza sudah tidak sabar ingin melihat Aliya, calon istri Azhar. Walaupun nanti hatinya akan merasa sakit. Tapi malam itu, ia siap untuk melihat apapun yang terjadi. Ia akan mengikhlaskan segalanya. Benar saja, saat acara dimulai, Azhar naik ke atas panggung kecil bersama dua orangtua dan seorang wanita berjilbab yang cantik. Azhar mulai memperkenalkan mereka. Kedua orangtua itu adalah ayah dan ibunya yang selama ini sudah merawat dan membesarkannya, dan yang telah membuatnya menjadi seorang arsitek. Kini giliran Azhar memperkenalkan wanita berjilbab itu.
“Saudara-saudara sekalian, wanita yang ada disamping saya adalah  salah satu wanita yang ada dibalik kesuksesan saya. Dia yang selama ini selalu mensuport saya. Namanya Aliya.”
Faiza dan semua orang yang ada disitu telah mengetahui calon istri Azhar. Walaupun hatinya sakit, ia tetap duduk dikursinya. Tubuhnya masih terasa kaku saat Azhar memperkenalkan Aliya. Semua orang tersenyum dan bertepuk tangan. Namun, Azhar kembali melanjutkan bicaranya.
‘’ Tetapi Aliya ini bukanlah calon istrinya. Dia adalah adik kandung saya. Allah telah mempertemukan saya dengan seorang wanita shaleha yang juga bernama Aliya. Sudah lama saya memendam perasaan padanya. Dan malam ini saya baru bisa mengungkapkannya. Dia adalah seorang wanita yang telah sukses menjalani karirnya sebagai seorang desainer. Arinda Faizatul Aliya atau yang kita kenal Faiza. Faiza, apakah kamu bersedia menjadi penghujung mawaddahku?.” Pinta Azhar dengan pandangan tertuju kepada Faiza.
Semua orang memandang Faiza. Tiba-tiba Fatma berkata “ Terima, terima, terima”. Kalimat itu kemudian diikuti oleh semuanya termasuk Afnan. Faiza memandang kedua orangtuanya, dan mereka memberi isyarat dengan anggukan kepala dan kedipan mata. Maka tak ada alasan lagi bagi Faiza untuk menerima pinangan dari Azhar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Aliya yang dimaksud Azhar adalah dirinya. Ia juga tak menyangka bahwa Azhar akan meminangnya dengan cara yang hampir membuat hatinya tersayat sembilu. Semua orang bertepuk tangan dan mengucapkan selamat kepada keduanya.
Empat hari setelah acara malam itu, Azhar dan Faiza melangsungkan akad nikah. Faiza terlihat cantik dan anggun dengan gaun indah buatannya yang waktu itu dipesan oleh Azhar. Azhar pun terlihat gagah dengan jas hitam dan kemeja putih. Mereka telah menemukan penghujug mawaddahnya dengan menjadi sepasang suami istri yang mengikatkan janji atas nama Allah.  TAMAT.